Thursday, March 5, 2015



Suka atau Tidak, Sastra Harus Memihak!

Ali Mustofa

Universitas Negeri Surabaya

[dipaparkan dalam: Seminar Nasional dan Musyawarah Wilayah Jawa Madura IMABSII, yang diselenggarakan di Universitas Kanjuruhan Malang pada tanggal 25 Februari 2015]


Kertas kerja ini memaparkan beberapa pemikiran penting dari beberapa postulasi terdahulu tentang sastra, ideologi, psikologi, dan politik identitas yang menginspirasi ide-ide dan gagasan-gagasan dalam sastra dan kritik sastra. Beberapa pemikiran yang terangkum di dalam diskusi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran pascastrukturalis. Pemikiran Freud membingkai pola kesadaran dan ketidaksadaran yang sudah lama menjadi bingkai diskusi phalic function, namun terabaikan dalam diskursus psikoanalisanya (Penney, 2014), sebagai akar masalah pembahasan identitas, gender dan seksualitas. Pemikiran Lacan, sebaliknya, menyadarkan dan menegaskan fungsi pencitraan objek dan kaitannya dengan identitas dalam bingkai psikologi dan perkembangannya sebagai kelanjutan dari diskursus Freud.
Sumbangan ideologis terbesar dari gagasan keberpihakan diturunkan dari petuah Marxisme tentang kelas dan penindasan. Diskusi tentang keberpihakan juga tidak lepas dari peran ideologi-ideologi yang bertebaran di sekeliling pemikir-pemikir pascastrukturalis. Dunia ini pada kenyataannya sudah menghadapi tahap krisis akan kebutuhan teori dan praktik kritis dalam membongkar permainan ketidakadilan. Dengan beberapa postulasi yang dipaparkan serta ditarik benang simpulnya, mau tidak mau, sastra harus menerima keberagaman dan menyuarakan keberpihakan. 

Freud, Marx dan Lacan
Tesis Freud menginspirasikan sebuah teori yang dalam banyak hal memiliki karakteristik modern. Freud percaya bahwa ada sifat dasar manusia yang esensial dan fundamental. Dia mengacu pada sebuah pandangan deterministik, ilmiah dan positivistik, dan dalam berbagai kesempatan dia memodifikasi pandangan totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak, represi sosial atas kebutuhan dan keinginan manusia (needs and desires), serta tentang kebutuhan manusia dalam memecahkan masalah mereka dengan cara membicarakan masalah-masalahnya kepada pendengar [Freud: psikiater] dan memberikan ruang bagi kebutuhan-kebutuhan alam bawah sadar mereka yang terrepresi dan tertimbun untuk diungkapkan, juga keinginan dan pengalaman mereka yang terpendam. Sebaliknya, kaum postmodernis menentang totalisasi struktural ala Freud seperti itu sebagai sesuatu yang represif dan berkarakteristik “teror”. Interogasi dan naturalisasi [misalnya dalam naturalisasi atau pemutihan gender bagi kaum lesbian dan homoseksual] adalah bentuk teror ala totalisasi seperti itu (Penney, 2014).
Penney (2014) di lain sisi menyatakan bahwa Freud telah menyumbangkan kerangka berpikir yang keliru tentang heteronormatifitas. Ia meluruskan dan mengoreksi petuah Freud tentang heteronormatifitas paternalistik dalam setiap diskusinya dan yang telah banyak disalahartikan. Namun demikian teori-teori Freud memainkan peran cukup penting dalam perkembangan post-strukturalisme dan postmodernisme. Di antara gagasan Freud yang cukup relevan bagi kaum postmodernis adalah pandangannya bahwa masyarakat era modern telah gagal mewujudkan sumpahnya, gagal dalam menawarkan representasi kenyataan secara sepihak. Sesuatu yang marginal dan terrepresi seperti mimpi “dream” dan silap lidah “slip of the tongue” adalah fenomena yang amat penting dan bahwa dalam suatu proses untuk sampai pada sebuah tahap interpretasi akan mimpi dan silap lidah dengan cara “yang benar”, menurut Freud, hanya membawa pada penafsiran-penafsiran lain. Di sinilah letak kemodernan teori Freud meskipun teori itu sudah sangat lama dibongkar dan dimodifikasi oleh banyak kritikus di dunia. Freud sangat terbuka akan irisan tesisnya dengan disiplin lain.
Untuk sampai pada kesimpulannya tentang penyakit Oedipus Hamlet dalam drama terkenal Shakespeare Hamlet: The Prince of Denmark, sebagai contoh sederhana, Freud menarik diskursus marjinal dari teks drama Shakespeare tersebut. Ia tidak serta merta memperlakukan teks drama tersebut sebagai sebuah institusi pasif bermuatan pesan moral. Namun Freud membuka diri untuk berdialog dengan teks-teks lain di luar drama Shakespeare. Ia melakukan eksplikasi eksternal karya sastra (external explication) dan juga pembacaan dekat terhadap karya yang dihadapi (close reading) untuk memaknai teks Hamlet. Cara yang ia pergunakan adalah menolak anggapan dengan mengedepankan apa yang sudah ia kuasai sebagai suatu “anggitan”/”constructedness”, karena Freud adalah pembaca tercangkok (meminjam istilah Derrida). Sampai pada kesimpulannya, Freud memutuskan untuk menandai gejala Hamlet sebagaimana yang ia tandai dari teks senafas Hamlet yaitu “Oedipus Rex” karya Sophocles. Diskursus marjinal yang ditarik Freud dibingkainya dengan pengetahuan strukturalnya tentang kejiwaan dan mekanisme pertahanan diri ego tokoh. Ia membaca bahwa Hamlet menunjukkan gejala-gejala yang sejalan dengan apa yang dialami Oedipus dalam drama Sophocles.
Tanpa sengaja, Freud telah mempraktikkan apa yang telah dilakukan kritikus pascastrukturalis seperti halnya seorang Derrida. Menarik diskursus marjinal dalam teks adalah salah satu langkah metodis dekonstruksi ala Derrida. Di sini pula yang menunjukkan kemahiran dan kemodernan seorang Freud pada masa itu yang banyak disalahartikan kritikus-kritikus sesudahnya.
Sementara itu menurut pandangan Marxism, karena suprastruktur ditentukan oleh nilai dasar, maka bisa dipastikan ia menopang ideologi-ideologi nilai dasar tersebut. Ideologi-ideologi adalah beberapa ide, gagasan dan kecenderungan yang merubah dan didapat individu melalui kehidupan sosial. Ia menampilkan nilai-nilai dan gagasan dominan sebagai sistem kepercayaan masyarakat secara keseluruhan, dan juga mencegah individu memandang bagaimana sebenarnya fungsi masyarakat. Karya sastra, sebagai produk budaya, adalah suatu bentuk ideologi, yang memperkuat kekuasaan kelas atas. Sebagai contoh, pada abad ke-18, karya sastra telah digunakan oleh sekelompok golongan berbahasa Inggris kelas atas untuk menunjukkan dan memperlihatkan sistem nilai dominan kepada golongan yang lebih rendah.
Ada banyak perbedaan pendapat antar kritikus sastra Marxist berkaitan dengan hubungan antara ideologi dan sastra. Teoritikus dan realis sosial Soviet/Rusia Georg Lukacs dan Louis Althusser secara berangsur-angsur telah memodifikasi atau memperluas konsep awal Marx. Mereka  percaya bahwa ideologi sebagai bagian suprastruktural (bangunan struktural), harus sesuai dan berlandaskan pada nilai dasar ekonomi masyarakat. Menurut mereka, sastra haruslah secara jelas mencerminkan nilai dasar ekonomi sebab ia tidak akan berfungsi ketika bernaung di luar nilai dasar yang sudah jelas atau model suprastruktural (Althusser, 2004).
Sebagaimana para realis sosial lainnya, kritikus Georg Lukacs pun merasakan bahwa hanya format fiksi realistis saja yang secara artistik dan politis lebih sah dan valid dalam membaca ketidakadilan. Tetapi Lukacs dan para realis sosial memiliki perspektif yang terbatas. Mereka tidak sadar telah menyimpang keluar dengan karya mereka termasuk pembacaan literal tentang sistem nilai dan bentuk suprastruktural tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan Marx dan Engels yang menggunakan pendekatan deterministik pada karya sastra. Di dalam karya mereka, sastra bukanlah melulu suatu cerminan pasif dari dasar-dasar ekonomi. Meskipun mereka mengakui sastra tidak bisa merubah sistem dan masyarakat dengan sendirinya, namun mereka masih menganggap bahwa sastra dapat menjadi unsur aktif dalam perubahan atau dapat berperan sebagai agen perubahan (the agent of change).
Walaupun para kritikus aliran Marxis telah menafsirkan teori Marx dengan berbagai cara berbeda, namun sebagai Marxis mereka toh akhirnya tetap berpedoman kembali pada beberapa konsep sentral Marx, yaitu gagasan tentang keadaan sosial mempengaruhi kesadaran, dan sistem dasar atau bentuk suprastruktur. Kritikus Inggris Raymond Williams, misalnya, mempraktikkan beberapa terma ala Marxis sebagai budaya peninggalan dan budaya yang dapat berkembang untuk mengubah sistem dasar atau bentuk suprastruktur, bukan menginterogasi dan membongkarnya. Kritik sastra Marxis lebih condong pada tekanan-tekanan dan kontradiksi di dalam karya sastra, seperti yang banyak dipraktikkan oleh kritikus pascastrukturalis-pascakolonialisme (Budianta, 2002). Sementara itu sastra sebagai entitas yang memiliki kekuatan dan kelebihan tersendiri, menawarkan perlawanannya sendiri dan merepresentasikan sebuah kekuatan wacana yang mampu membedah dan membenahi dirinya sendiri. Hal inilah yang dilihat oleh kritikus Kritik Baru yang dinafikan oleh kritikus pascastrukturalis. Oleh karena itu, kertas kerja ini mengingatkan kembali bahwa pemikiran sederhana Freud, sebenarnya, menawarkan praktik kerja kritik sastra yang lebih luwes dan cair, namun dimentahkan begitu saja dengan pandangan-pandangan curiga dari pemikir pascastrukturalis.  
Hal tersebut di atas sejalan dengan kaidah Marxisme karena Marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan, kontradiksi dan pertentangan di dalam masyarakat. Kritik sastra Marxis juga memandang bahwa sastra sangat dekat dan terhubung langsung dengan kekuatan sosial dan analisa mereka atas karya sastra juga berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sosial yang besar. Sejak Marxisme dianggap sebagai sistem kepercayan atau ideologi yang dapat digunakan untuk menganalisa susunan masyarakat pada tingkat level paling besar dan terperinci, kritik sastra aliran Marxisme hakekatnya adalah bagian dari perjuangan dan usaha besar untuk membongkar praktik ketidakadilan dalam masyarakat yang terjadi secara tidak sadar.
Dengan pembacaan yang menyeluruh dan sedikit provoaktif, Penney (2014) mengajak para kritikus dan peneliti sastra dan budaya untuk kembali mengkaji pemikiran-pemikiran kritis Lacan, Freud, dan Marx untuk membantu memahami hubungan antara psikoanalisis, politik dan kapitalisme karena ketiganya memang saling berpegangan dan saling menunjang satu sama lain khususnya dalam diskusi mengenai ego dan kritik mengenai nilai surplus dari pemanfaatan kritik diskursif, serta bentuk-bentuk kapitalisme yang dipengaruhi oleh kesenangan sesaat ego. Bukankah praktik budaya kita merupakan wujud dari mekanisme pertahanan diri ego?
Ada satu permasalahan yang dibongkar Penney (2014) tentang diskursus Lacan mengenai desire. Lacan, menurut Penney (2014) telah keliru memberi label hasrat ini dengan, ”...mampu menghidupi dirinya sendiri dengan cara mensabotase pemenuhan-pemenuhannya sendiri” di mana akhirnya hasrat mendapatkan stempel negatif dalam setiap diskursus Lacan. Hal ini, lanjut Penney, dikarenakan pada hakekatnya hasrat itu tidak bisa “dinormalisasi” (dengan sinyifikasi apapun). Selanjutnya konsep yang membingungkan dari diskursus hasrat ini disalahartikan oleh Lacan dengan mencitrakannya sebagai dorongan yang membebaskan diri dari represi karena ujung-ujungnya hasrat dekat dengan kematian “death”, yang mana menurut Penney hasrat merupakan sebuah “eternalisation” dan juga “the excess of life”. Secara radikal dan provokatif Penney (2014), penggagas teori pasca-queer, menyatakan bahwa,”... we must choose not between life and death [maksudnya insting hidup dan mati], but rather between life and immortality”. Di sini jelas bahwa hasrat itu sebenarnya adalah libido yang besar untuk mempertahankan diri dan berusaha memposisikan ketetapan kedudukan dari gempuran dan serangan libido negatif di luar individu.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa diskursus hasrat Lacan telah disalahpersepsikan sebagai gerakan alam bawah sadar yang negatif, padahal kenyataannya tidak demikian menurut pandangan pascastrukturalis Penney. Hasrat adalah gairah kelangsungan hidup dan merupakan mekanisme pertahanan diri ego dari gempuran ketidakpastian dan penderitaan. Hasratlah yang mengantarkan manusia untuk bertahan dan menjalankan kehidupan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Hasrat pula yang mengantarkan individu untuk merangkak menempati kedudukan dalam tiap tahap kehidupan.            


Politik dan Kapitalisme dalam Sastra
Antonio Gramsci dengan konsep hegemoninya, melakukan pembacaan yang fleksibel pada model sistem dasar dan suprastruktur. Gramsci percaya bahwa ideologi tidak dapat menjelaskan tingkatan manusia di dalam menerima nilai-nilai dominan. Dia juga menyadari, sebagaimana kritikus Marxis lainnya, bahwa model sistem dasar dan suprastruktur sangatlah kaku untuk dapat merangkul dan menjelaskan produk-produk budaya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dominan (arus utama/mainstream). Selanjutnya gagasan hegemoni Gramsci dianggap sebagai suatu kelanjutan langkah atau “konsep terselubung” di balik ideologi. Hegemoni adalah sejenis “penipuan” di mana individu melupakan keinginannya sendiri dan menerima nilai-nilai dominan sebagai pikiran mereka, menerimanya, melanggengkannya, dan meneruskannya pada generasi berikutnya. Hegemoni menjadi semacam lingkaran setan tanpa putus dan didalamnya ada penerimaan dan pentahbisan. Praktik hegemoni ini menjadi bagian dari ketidaksadaran individu dan mendarahdaging seperti praktik kepercayaan dan mitos. Doktrin dan dogma adalah bentuk dari praktik hegemoni itu secara tanpa sadar.  
Teoritikus Louis Althusser mempertimbangkan hubungan antara sastra dan ideologi. Baginya, hal ini juga meliputi pemahaman tentang hegemoni. Althusser menyatakan bahwa ideologi dan hegemoni—seperti halnya sastra—memperlihatkan suatu versi penciptaan ulang realitas, di mana sastra sebenarnya tidak merefleksikan kondisi aktual kehidupan. Dengan demikian, sastra di samping tidak hanya menggambarkan ideologi, juga dapat direduksi menjadi bagian dari ideologi. Karya sastra mungkin dapat diposisikan sejajar di dalam ideologi, tetapi juga terdapat jarak di antara keduanya. Hal tersebut dilakukan dengan membiarkan pembaca untuk memperoleh suatu kesadaran ideologis di mana ia disandarkan pada suatu nilai atau kaidah tertentu di dalam karya sastra yang dibacanya. Sebagai contoh, sebuah novel boleh menampilkan dunia dengan segala cara untuk mendukung ideologi- ideologi dominan. Dan sebagai karya fiksi, ia juga harus menampilkan ideologi tersebut. Jadi, sekali lagi, meskipun sastra tidak dapat merubah masyarakat, ia dapat menjadi agen suatu perubahan. Ini disebabkan karena ideologi itu sendiri hidup dan,”... ia lahir dari sebuah hubungan kekuasaan sebagai salah satu reaksi dari pihak-pihak tertindas untuk membebaskan diri” (Althusser, 2004).
Karya sastra adalah buah pemikiran dan imajinasi. Ia ditimbulkan dari realitas imajiner pengarang. Dunia di dalam sastra adalah dunia yang terbayangkan dan teridealisasikan. Idealisme dalam sastra tidak lain adalah idealisme imajiner. Khayalan yang disepakati antara penulis dan pembaca menjadi cikal bakal kebutuhan bacaan. Keterbacaan sastra sementara itu menjadi daya tarik luar biasa yang sangat jarang dimiliki karya sastra populer. Hal ini disebabkan karya sastra populer lebih banyak didominasi tema-tema budaya popular yang dekat dengan kehidupan pembaca, mudah diikuti alur cerita, menarik, menghibur dan menawarkan “mimpi” untuk lari dari permasalahan realita kehidupan.  
            Kenyataan tersebut di atas menjadi magnit penarik para pemodal untuk ikut berperan dalam membidani lahirnya karya sastra yang nantinya akan dinikmati masyarakat. Sastra berada dalam percaturan peta: penulis, pemilik modal, redaksi/produser, penjual, dan konsumen (pembaca). Eagleton berpandangan bahwa sastra tidak bisa lepas dari lingkaran pemodal karena hidup matinya sastra dapat ditentukan oleh kehadiran dan kekuatan pemilik modal. Sastra dan kapitalisme menjadi benang kusut dalam rangkaian sejarah lahirnya karya sastra, entah itu karya sastra yang bagus atau tidak bagus. Oleh karena itu peran sastra sebagai agen perubahan bisa juga ditentukan oleh pemodal yang notabene juga bisa memainkan dan memutar keinginan publik. Sastra sebagai agen perubahan juga bisa dibelokkan ideologinya sesuai dengan konsep yang digagas oleh kapitalis.
            Beberapa karya sastra yang muncul akhir-akhir ini yang semuanya didominasi oleh karya sastra dengan label young adult literature (YAL) menarik untuk disimak. Sastra genre ini merupakan karya sastra yang banyak diminati oleh produsen dan juga pembaca, khususnya di negara-negara maju seperti Amerika, Australia, German, Perancis, Singapura, Malaysia, China, dan lain-lain karena sifatnya yang ringan, empatik dan didaktis. Karya sastra jenis ini mengetengahkan isu-isu ketidakadilan dan semangat mempertahankan akar budaya serta jati diri dalam tirani penindasan seorang pemimpin diktator. Beberapa contoh karya dari genre ini adalah Catching Fire: Hunger Games, Divergent, The Giver, The Maze Runner dan beberapa karya lainnya. Ada apa di balik karya-karya itu? Dan mengapa karya-karya itu begitu terkenal dan dikagumi serta mencapai angka penerbitan yang luar biasa. Menariknya lagi, karya-karya tersebut disulap menjadi film dengan genre fantasi yang menarik dan mendatangkan keuntungan material yang lumayan besar bagi produser (pemilik modal), penerbit (pengiklan), dan penulis (pemilik idealisme).
            Hal tersebut di atas, tidak lain, adalah relasi kuasa antar kebutuhan dalam kapitalisme. Dan mengapa karya-karya seperti itu yang dijadikan rujukan dan trend genre dalam produksi novel dan film dewasa ini? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena adanya ideologi yang menentang totalitarianisme. Keseluruhan tema cerita dari novel-novel genre itu adalah adanya ketimpangan praktik dominasi yang dilakukan oleh beberapa gelintir oknum dalam cerita, yang ingin menindas dan menghegemoni dengan melakukan berbagai cara dan praktik penipuan publik, yang bertujuan untuk menegakkan dominasi dan melanggengkan kekuasaan.
Seorang tokoh, dari beberapa judul yang pernah terbaca sebelumnya, dikaruniai kekuatan imajinasi dan kelebihan futuristik lahir di tengah-tengah masyarakat yang tertindas. Ia, entah dari gender maskulin atau feminin, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, melihat dan mencoba membongkar praktik penindasan itu dengan cara menyadarkan keluarga, orang-orang terdekatnya dan bahkan kekasihnya, untuk memberontak dan melawan tirani pemimpin diktator. Dengan tokoh berusia muda dan dibekali penampilan fisik yang mengagumkan, tokoh superhero ini akhirnya menjadi scapegoat yang menentang praktik ketidakadilan. Ia menjadi musuh masyarakat, sekaligus musuh politik kekuasaan yang berlaku. Kemudian tokoh ini mencoba untuk keluar dari lingkungannya dan meninggalkan semua yang ada di belakangnya karena keyakinannya. Ia menjadi survivor dan berhasil membongkar praktik dominasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemimpin totaliter. Nampaknya, pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang cerita sangatlah ringan dan gampang dimengerti. Namun jika ditelisik lebih jauh, teks-teks ini menawarkan pembongkaran ideologi yang mendalam serta ingin menyadarkan bahaya totalitarianisme dalam masyarakat. Apakah pengarangnya ingin mengkritik sebuah praktik politik tertentu? Adakah peran kapitalisme dalam upaya melawan kediktatoran atau totalitarianisme? Adakah campur tangan negara tertentu yang menginginkan karya-karya yang diproduksi bersifat ideologis? Jawabannya justru bergantung pada sejauh mana pemaknaan ideologis yang dimiliki oleh pembaca. Pembacalah yang menjadi agen transfer of knowledge dari agen perubahan yang digagas oleh sastrawan. Sifat ideologis karya sastra di sini bukan ditentukan oleh kedalaman karya sastra yang diproduksi, tetapi dilihat dari sudut pandang pembaca yang sudah dilingkupi oleh ideologi tertentu.
Pembacaan saya terhadap karya-karya YAL mengerucut jurstru setelah karya-karya tersebut disulap Hollywood menjadi tontonan grafis bergerak. Mengapa Hollywood? Jawabanya tidak lain karena Hollywood menjadi pemilik modal dan penguasa ideologi. Film-film itu menjadi jalan mulus bagi ideologi Amerika (secara umum) untuk menentang praktik totalitarianisme, yang sekarang menjadi kiblat bagi perkembangan kemajuan dan peradaban berbudaya seperti yang diprakarsai oleh Rusia dan China, yang notabene beraliran komunis sosialis. Namun bisa dilihat bahwa praktik totalitarianisme di Rusia dan China menjadi contoh dari “aturan”, “normalisasi”, “pemutihan” dan “penundukan” tanpa perlawanan. Inilah yang ingin dikritik dan dibongkar oleh paham ideologi ala “Hollywood” .      
            Bandingkanlah karya-karya YAL di atas dengan karya klasik Arthur Miller, “Death of Salesman” (dalam Barnet, Berman dan Burto, 1989). Drama ini sangat dekat dengan kehidupan dan realita sehari-hari: pekerjaan yang menggunung, tagihan dan hutang, keluarga, istri, anak-anak yang merengek-rengek minta hadiah dan tamasya, serta yang paling sering disorot, perselingkuhan dan seksualitas. Willy, seorang salesman tidak sukses yang mengalami nasib ironis tragis (kurang lebih demikian gambaran tokoh ironis tragis mengikuti tradisi Shakespeare, karena Miller adalah seorang pengagum Shakespeare), memiliki impian luar biasa sebagaimana ayah pada umumnya, ingin keluarganya utuh, pekerjaan sukses, istri yang baik dan anak-anak yang menyejukkan mata. Tapi semua itu hanya dalam mimpi Willy. Ia bukanlah seorang negosiator yang baik karena kegagalan-kegagalan sebagai seorang tenaga penjual tidak pernah membawa untung bagi tempat usahanya; ia tidak pernah bisa memenuhi keinginan anak dan istrinya karena ia merasa selalu dilecehkan keluarganya karena harapannya terlalu tinggi dan selalu memberi harapan palsu tetapi tidak pernah bisa menggapainya; ia tidak pernah bisa mencintai istrinya karena ia berselingkuh dengan wanita lain karena tidak pernah mendapatkan kedamaian dengan istrinya; ia tidak pernah bisa membelikan hadiah terindah buat istrinya, namun ia berusaha mati-matian membelikan stocking untuk selingkuhannya hanya supaya selingkuhannya terlihat seksi dan dapat membangkitkan syahwat binalnya. Ia tidak punya apa-apa kecuali harapannya untuk mendapatkan klaim asuransi yang ia bayarkan setiap bulannya dengan susah payah. Klaim itu sendiri tidak bisa dicairkan sebelum ada musibah yang besar yang menimpanya, misanya kecelakaan atau kematian.
            Adakah ideologi kapitalisme di dalam drama tersebut? Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana dan sikap pengarang serta pembaca ketika membaca realita drama tersebut. Beberapa karya tulis dan disertasi menyangkutpautkan drama ini dengan unsur kapitalisme dalam budaya masyarakat modern, serta pengaruh ekonomi dan budaya kepitalisme yang menyebakan jatuh tragisnya tokoh Willy. Namun jika ditelisik lebih jauh, beberapa hasil analisis tulisan-tulisan tersebut sangat jauh dari harapan-harapan ideologis sebuah karya sastra ideologis. Drama itu memang syarat pesan dan titipan dari kapitalisme di waktu drama itu dibuat. Namun, drama tersebut bukanlah hasil dari selingkuh kapitalis dengan pengarang dan produsen. Drama Miller merupakan buah dari peradaban sastra tingkat tinggi yang tidak dipengaruhi oleh keinginan pemilik modal. Meskipun akhir cerita mengemukakan bahwa kematian Willy sebagai upaya banding dia dalam mendapatkan klaim asuransi demi membahagiakan anak dan istrinya yang bisa dimaknai sebagai pesan pemilik modal penggagas isu berasuransi jiwa, namun pesan ideologis drama ini sebenarnya ada pada semangat perjuangan dan eksistensi seorang manusia dalam menapaki kehidupan di atas bumi gersang bernama peradaban kapitalisme. Sastra yang ideologis seperti “Death of Salesman” bukan berarti dipenuhi muatan pesan-pesan ideologis seperti politik, apalagi kapitalisme. Sastra yang ideologis sebenarnya, kemungkinan terbesar, sangat dekat dengan kehidupan karena kehidupan itu sendiri syarat muatan ideologis.       

Identitas, Keberagaman, dan Keberpihakan
Diskursus tentang identitas dan keberagaman (identity and diversity) dalam karya sastra telah berkembang sejak kajian pascakolonialisme berkembang dengan pesat di dunia. Kajian pascakolonial pada mulanya melihat pentingnya pengaruh identitas dalam wacana pra-kolonial, kolonial, dan pascakolonial. Pengaruh-pengaruh ideologis dari negara penjajah terhadap bekas jajahannya menjadi mengerucut kepada diskursus ras, kelas, etnisitas dan identitas. Diskursus pascakolonialitas melihat hubungan antara tuan-majikan, putih-hitam dan kuat-lemah, tinggi-rendah, atasan-bawahan, majikan-budak dan beberapa bentuk dan pola oposisi biner dalam lingkaran diskusi timur dan barat dalam suatu pandangan ideologi tertentu.
Para kritikus pascakolonialisme sekarang (misalnya yang mengikuti arus pemikiran Edward Said dan Hommi K. Bhaba) lebih melihat pertentangan dalam bingkai ini pada ketimpangan kekuasaan dan ideologi daripada hubungan secara tidak langsung antara timur dan barat. Sejak adanya postulasi pascastrukturalis (yang banyak dipengaruhi pemikiran Derrida dan Foucault) yang memandang ketidakadaannya perbedaan, warna kulit, status, ras, kelas dan etnisitas, serta identitas (bahkan barat dan timur), maka diskursus pascakolonialisme lebih mengemukakan pembongkaran ideologi dan praktek ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan tatanan dalam budaya dan masyarakat. Dengan demikian praktek pascakolonialisme lebih tertantang luas dan tidak hanya terkotak pada salah satu belahan biner “dunia” saja. Beberapa pemikir diskursus pascakolonialisme melihat bahwa ketidakadilan dalam peradaban bukan hanya merupakan peninggalan barat yang mendominasi timur dan relasi keduanya dalam pertautan makna dan bahasa. Namun lebih merupakan buah dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan hak-hak asasi manusia dalam praktek hegemoni penandaan dan praktik ideologi bahasa. Ini disebabkan karena peradaban manusia sudah tidak perlu lagi mempergunakan kekerasan dalam bentuk fisik dan persenjataan (karena dianggap sebagai bentuk kekerasan dan dominasi fundamental barbar) tetapi kekuatan “kata-kata” dan “bahasa diplomasi” yang dianggap lebih ampuh untuk menghegemoni.
Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, persenjataan utama sastra sebenarnya terletak pada kekuatan penanda-penanda ideologisnya. Praktek ideologi bahasa dalam bentuk penanda dan petanda, menjadi rujukan utama dalam setiap diskursus dan pengejawantahan idealisme. Karena sastra bukan hanya cermin realita, maka ia adalah ideologi itu sendiri, dan ia juga hidup itu sendiri. Sementara itu ideologi merupakan realita, karena ia melembagakan sesuatu yang riil dalam masyarakat (Thompson, 1984). Ideologi bukanlah bayangan dari dunia sosial, namun ia adalah bagian dari dunia itu sendiri, serta merupakan elemen yang kreatif dan konstitutif dalam kehidupan sosial.        
Identitas pada hakekatnya melekat pada individu dan kelompok. Ia merupakan wujud penandaan yang konkret serta berpegang erat pada ideologi. Setiap identitas ada melekat bersamanya sebuah ideologi yang hidup. Karena ideologi dipercaya dan dipraktikkan sebagai bentuk pemikiran dan tindakan. Oleh karena itu, identitas tidak bisa lepas dari kesadaran individu untuk menerima dan mengamini ideologi yang dipercayanya. Identitas melekat kuat sejalan dengan ideologi dan karenanya susah untuk dihilangkan. Ia menjadi petanda dan sekaligus penanda dalam diskursus kehidupan sosial.
Karya sastra yang dipenuhi dengan muatan ideologi tidak lain adalah karya sastra yang memiliki jiwa dan kehidupan itu. Karya tersebut kreatif dan menghidupi dirinya, meminjam istilah Kritik Baru, mampu merubah, mengurangi atau memperkuat relasi dengan yang lain dan dunia itu sendiri (Thompson, 1984). Pemikiran ini sejalan dengan gagasan para pemikir pascastrukturalis bahwasannya cara kerja mereka lebih mengutamakan pemaknaan dari dalam teks serta mencari ketidakseimbangan teks itu sendiri, bukan mencari pembenaran yang menyelamatkan teks. Pemikiran pascastrukturalis, meskipun dalam praktiknya mereka lebih banyak melakukan pembongkaran terhadap teks-teks besar dan dikanonkan, lebih mengedepankan hubungan-hubungan yang tidak simetris di dalam teks (Barry, 1995).
Hubungan-hubungan ini saya maknai sebagai “pencarian perbedaan”/”the search for difference” di dalam teks. Dengan memaknai dan mencari perbedaan ini, berarti bahwa sesuatu yang membedakan satu hal dengan lainnya menjadi penting. Kritik sastra pascastrukturalis, oleh karena itu, lebih mengedepankan perbedaan dan mengangkat kemarjinalan alias keliyanan, serta menariknya keluar dari dalam teks dan memperlakukannya sebagai buah analisis yang sangat berharga. Ini yang disebut dengan penolakan terhadap esensialisme (sejalan dengan pemikiran para pascastrukturalis), yang memungkinkan adanya pembentukan identitas yang kuat dan jati diri yang jelas. Sastra feminis dan pascakolonial, sebagai contoh, tidak menginginkan bentuk pengejawantahan esensialisme seperti itu. Derrida juga sudah pasti memiliki semangat yang sama, yaitu menolak esensialisme, dalam memperlakukan teks-teks ideologis seperti halnya karya sastra kanon.
Kritik sastra ideologis, sama halnya dengan sastra ideologis itu sendiri, seharusnya melakukan tindakan semacam ini. Ia tidak berusaha menjauhi perbedaan yang telah direpresi dari wacana arus utama dan juga tidak menolak beraliansi dengan kelompok-kelompok tertentu untuk membangun ideologi dan gagasan besar, namun bersinergi dengan ketimpangan dan mengangkat kemarjinalan serta bertarung melawan ketidakadilan dan praktik dominasi relasi kuasa timpang. Itulah kurang lebih semangat yang harus digagas penulis sastra ideologis dalam konteks budaya dan sosial masa kini. Untuk bertahan dan menghidupi dirnya sendiri serta melaju dengan kecepatan yang aman, sastra ideologis harus membela kemarjinalan, menerima keberagaman, dan menyuarakan keberpihakan.    

Daftar Rujukan:
Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisa, Cultural Studies, diterjemahkan oleh Olsy Vinoli Arnof dari buku Esays on Ideology, London: Verso, 1984
Barry, Peter. 1995. Beginning Theory, an Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press.
Budianta, Melani. 2002. “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme: Dari Studi Teks ke Studi Wacana Budaya”, PPKB-LPUI: Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, PPPG Bahasa 22-30 Mei 2002
Miller, Arthur. 1989. “Death of Salesman” karya drama dalam Barnet, Berman, Burto Introduction to Literature: Prose, Poetry and Drama 10th Edition, New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc. 
Penney, James.2014. After Queer Theory: The Limits of Sexual Politics. London: Pluto Press
Thompson, John. B. 1984. Studies in the Theory of Ideology. California: University of California Press.
    

Monday, February 23, 2015



Menjelang Pagi

 Oleh: Ali Mustofa

          Suara tangis perempuan muda itu memekakkan telinga semua penghuni kamar ICCU rumah sakit. Terlihat mata dan hidungnya memerah menahan isakan tangis. Suaranya parau karena tangis dan sesekali menjerit. Tidak lain adalah orang yang sedang terbaring sambil menghentak-hentakkan badannya di atas tempat tidur pasien. Nampak beberapa perawat dan seorang dokter jaga memegangi dan melakukan tindakan medis. Sesekali beberapa perawat memegangi kedua kaki dan tangan laki-laki tua.
          Aku berdiri di samping ranjang ibuku sambil memegangi tangannya yang terasa dingin karena udara AC di ruang perawatan intensif itu. Aku bisa merasakan ketidaknyamanan ibu. Sesekali aku bisikkan kata-kata,”Tidur ya, Bu. Istirahat”. Ia menganggukkan kepala dan mencoba menutup mata.
          Beberapa kali perawat mengingatkan perempuan muda itu untuk tidak terbawa emosi dan larut. Sambil menenangkan sesekali pula ia membisikkan kata-kata lembut kepada perempuan muda itu,”Sabar, Dik”. Kata-kata perawat itu tidak membuat perempuan muda itu menghentikan isakannya. Ia malah meletupkan tangisnya.
          Sang ayah terbaring sambil menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya. Ia membanting-banting tubuhnya dengan tidak sadarkan diri. Aku masih ingat beberapa hari lalu, laki-laki tua itu masih jelas bicaranya dan sesekali memesankan kata-kata bijak pada anaknya. Suaranya besar dan keras menurutku. Sesekali pula aku berkesempatan menghampiri ranjangnya untuk menyapanya. Namun yang paling membuat aku tidak bisa berhenti memikirkan laki-laki itu adalah kejadian yang dituturkan laki-laki tiga hari yang lalu. 
                                                                   **
Waktu itu sekitar jam 10.00. Tidak ada tanda-tanda perawat di ruang itu yang memanggil keluarga pesakitan untuk melayani anggota keluarganya. Aku nekat memasuki ruangan perawatan itu untuk melihat ibuku. Ruang ICCU itu seharusnya diisi sekitar tujuh orang, namun hari itu hanya terisi 3 orang, yaitu laki-laki tua itu, ibuku, dan satunya lagi adalah seorang perempuan yang belum terlalu tua menurutku. Ia menderita penyakit gagal ginjal sehingga harus dicuci darahnya setiap minggu dua kali. Oleh karena ia telat melakukan cuci darah, maka ia harus masuk ruang ICCU untuk perawatan lebih intensif. Menurut anggota keluarganya ada infeksi yang diakibatkan oleh kuman-kuman yang tidak disterilkan, sehingga ia harus menjalani perawatan intensif. Ibuku dan perempuan separuh baya itu tertidur pulas. Aku melihat laki-laki tua itu gelisah dan menengok ke kiri dan kanan tidak jelas ingin mencari siapa. Melihatku melintas di dekatnya, ia memanggilku
“Nak, bisa kemari sebentar?” panggilnya.
“Iya, Pak. Bisa saya bantu?” aku menawarinya. Ia diam sambil memandangiku. Aku menurut saja mendekatinya dan berdiri di samping tempat tidurnya.
“Aku ingin menyampaikan sesuatu. Sudah lama ingin aku sampaikan tapi tidak kuat” katanya, seketika itu aku melihat perubahan wajahnya menjadi dalam dan kosong.
“Bapak ingin menyampaikan apa? Mungkin saya bisa membantu melakukan apa yang Bapak inginkan?” aku menawarinya.
“Aku ingin dadaku ini lega dan tidak sesak menghimpitku” ucapnya sambil mengelus dadanya perlahan. Aku melihat tangannya gemetar ketika memegangi dadanya yang terbuka. Separuhnya tertutup selimut yang disediakan di ruang perawatan itu. Aku menjadi bingung dan menoleh ke arah ibuku. Kudapati ibuku masih lelap, sehingga aku meneruskan untuk memandang ke arah laki-laki tua itu. Ada air mata di pelupuk matanya, tertahan, dan nampaknya tidak ingin tumpah.
“Bapak tidak apa-apa? Bapak istirahat saja ya, jangan banyak bergerak” timpalku sambil membetulkan selimut tipisnya yang sedikit melorot dari dadanya.
“Tidak, Nak” gemetar suaranya. “Sudah lama kupendam pikiran ini. Aku tidak pernah memberitahu siapapun” sergahnya. Agak bingung juga tapi aku penasaran juga apa yang ingin dia sampaikan.
“Aku tidak bercerita selama hidupku kepada siapapun, siapapun, termasuk istriku almarhum, anak-anakku, terutama Nani, anakku yang terkecil” celotehnya. Dari situ aku tahu istrinya sudah tiada dan ia memiliki lebih dari satu anak. Nani adalah perempuan muda yang sedang menungguinya di rumah sakit.
“Aku tidak ingin menyakiti hati mereka dan mengubah mereka membenciku selama hidupku. Tapi aku sudah tidak punya waktu lagi. Aku harus bicara dengan seseorang” katanya dengan suara agak serak dan mendengungkan permintaan.
“Iya, Pak. Silakan Bapak sampaikan kepada saya” lanjutku tanpa punya firasat apapun kecuali karena iba mendengar parau suara tuanya.
“Aku telah mengingkari pernikahanku dengan istriku. Aku tidak setia. Aku menghianati kesetiaan anak-anakku dan istriku yang selalu menungguku pulang malam-malam” ia mulai menggetarkan bibirnya dan suaranya parau pelan merangkaikan kata-kata yang maknanya tidak asing bagiku, tapi menjauhkanku dari dunia pemikiranku sendiri.
“Maksud Bapak apa?” tanyaku tidak paham.
“Sewaktu aku bekerja di rumah sakit sebagai sopir ambulan, aku melakukan tindakan yang tidak terpuji” katanya
“Maksud Bapak apa? Apanya yang tidak terpuji, Pak?” selidikku setengah kaget.
“Aku telah menggauli mayat. Mayat manusia. Untuk mengusir rasa takut dan sepi ketika menunggui jenazah. Sewaktu mengangkut mayat, jika kebetulan mayatnya perempuan muda, aku menggagahi mayat itu” tuturnya sambil matanya kosong menatap sudut ruangan. Aku terkejut dan setengah tidak percaya. Belum sempat aku bertanya, laki-laki tua itu meneruskan ceritanya
“Kejadian itu sering kulakukan jikalau malas pulang atau terlalu jauh jarak yang harus ditempuh untuk mengangkut peti-peti dan jenazah. Aku sadar itu perbuatan keji, tapi keinginan itu terlalu kuat” katanya setengah mengangkat kepala membetulkan posisi tidurnya. Mungkin tidak nyaman sehingga ia beringsut sedikit.
“Bapak lakukan itu dengan sadar atau tidak? Maksud saya apa Bapak sedang dalam kondisi mabuk atau apa?” tanyaku setengah menyelidiki. Ia membalas pertanyaanku,”Aku sadar”. Aku terdiam dan terpaku.
Sedikit terisak dan dengan suara lemah ia meneruskan,”Aku menyesal dan merasa berdosa pada istri dan anak-anakku. Senyum bahagia mereka selalu membayangi pikiranku setiap saat. Itulah alasanku untuk tidak buka mulut” terusnya.
“Semua berlangsung begitu cepat. Dan aku tidak membayangkan akhirnya harus seperti ini. Sekarang istriku sudah meninggal dan aku tidak punya teman lagi di dunia ini” kalimatnya tersendat oleh isakan. Aku tidak bisa memberi komentar dan tidak berani menghentikan ceritanya karena perasaanku kalut dan kacau pada waktu itu. Ia tetap saja meneruskan kisahnya
“Aku merasa berdosa. Aku menghianati istriku dan anak-anakku. Aku menghianati mereka” imbuhnya.
“Bapak tidak akan merasa berdosa kalau sudah meminta maaf” ucapku
“Aku tidak ingin menyakiti mereka. Biar aku saja yang menanggung derita akibat perbuatanku sendiri” tambahnya. Ia kemudian meraih tanganku
“Kamu bisa sampaikan dosaku ini kepada anakku, Nani. Ia permataku dan malaikatku” katanya meyakinkanku.
“Aku berdosa kepadanya” imbuhnya.
“Saya tidak akan mengatakan apa-apa, Pak” cetusku
“Katakan saja kepada dia, kalau sudah waktunya” ungkapannya membuatku bingung.
“Itu akan semakin membuat mereka dendam dan sakit hati Pak. Jadi sebaiknya Bapak tidak usah sampaikan, dan saya juga tidak akan menyampaikannya” pintaku
“Sampaikanlah, Nak. Biar pengadilanku menjadi ringan” ratapnya yang membuatku semakin merasa tidak karuan.
“Baik, Pak. Bapak istirahat ya” pintaku padanya yang kelihatan lemah dan menahan tangis tapi tidak bisa terluapkan.
“Iya, Nak. Terima kasih ya” katanya. Aku memegangi tangannya sambil berterima kasih juga kepada dia karena percaya kepadaku. Aku menyesal dan mengutuk diriku sendiri mendengar kisah laki-laki tua itu. Aku seperti tersedot dalam lingkaran pusaran kebingungan yang menyesakkan.
“Bapak boleh cerita apa saja kepada saya. Saya akan senang mendengarnya.” celetukku menenangkan dia. Aku menaruh tangan laki-laki tua itu ke sisi kasur ranjangnya. Sejenak aku melihat ke ranjang ibuku dan nampak olehku ibu telah terjaga.
                                                         ***
Sejak peristiwa itu aku tidak banyak melihat laki-laki tua itu membuka matanya. Setiap kali aku masuk ke ruangan ICCU untuk menengok ibu, nampak laki-laki tua itu tertidur. Aku juga tidak berani menyapa atau menanyakan sesuatu tentang dia. Kejadian di mana ia bercerita pengalaman hidupnya merupakan hari terakhir ia membuka matanya. Mungkin ia telah menumpahkan air mata penyesalannya untuk yang terakhir kali. Aku hanya terkejut ketika malam itu sekitar pukul 23.00 suara di dalam ruang ICCU agak ribut karena banyak perawat dan salah satu dokter jaga di dalam satu ruangan mengerubuti ranjang laki-laki itu. Aku baru datang dari luar rumah sakit mengisi perut.
Ia meronta dan memberontak ingin melepaskan diri dari pegangan para perawat. Tepat jam 02.00 pagi, kejang-kejangnya berhenti. Suara mesin pengontrol detak jantung semakin melemah dan pelan, dan akhirnya berhenti dengan satu suara tut panjang. Aku terdiam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku rasakan pegangan tangan ibuku semakin keras menggenggam tanganku.
Ingin sekali aku melupakan cerita laki-laki tua itu, tapi pikiranku menjadi semakin berkecamuk tidak karuan. Aku berharap bisa melupakan kisahnya. Tapi seperti ada yang berbisik untuk memberitahu Nani perihal masalah itu. Tapi menurutku tidak perlu aku sampaikan karena pasti membuat Nani membenci ayahnya sendiri. Mungkin suatu hari nanti. Entah aku juga tidak tahu. Mungkin semua laki-laki ditakdirkan untuk tidak bisa terbuka dan selalu menyimpan apapun dengan rapat. Sejak itu, aku memutuskan diriku untuk menjadi pendiam.