Suka atau Tidak, Sastra Harus Memihak!
Ali Mustofa
Universitas Negeri Surabaya
[dipaparkan dalam: Seminar
Nasional dan Musyawarah Wilayah Jawa Madura IMABSII, yang diselenggarakan di
Universitas Kanjuruhan Malang pada tanggal 25 Februari 2015]
Kertas
kerja ini memaparkan beberapa pemikiran penting dari beberapa postulasi
terdahulu tentang sastra, ideologi, psikologi, dan politik identitas yang
menginspirasi ide-ide dan gagasan-gagasan dalam sastra dan kritik sastra.
Beberapa pemikiran yang terangkum di dalam diskusi dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran pascastrukturalis. Pemikiran Freud membingkai pola
kesadaran dan ketidaksadaran yang sudah lama menjadi bingkai diskusi phalic function, namun terabaikan dalam
diskursus psikoanalisanya (Penney,
2014), sebagai akar masalah pembahasan identitas, gender dan seksualitas.
Pemikiran Lacan, sebaliknya, menyadarkan dan menegaskan fungsi pencitraan objek
dan kaitannya dengan identitas dalam bingkai psikologi dan perkembangannya
sebagai kelanjutan dari diskursus Freud.
Sumbangan
ideologis terbesar dari gagasan keberpihakan diturunkan dari petuah Marxisme
tentang kelas dan penindasan. Diskusi tentang keberpihakan juga tidak lepas
dari peran ideologi-ideologi yang bertebaran di sekeliling pemikir-pemikir
pascastrukturalis. Dunia ini pada kenyataannya sudah menghadapi tahap krisis akan
kebutuhan teori dan praktik kritis dalam membongkar permainan ketidakadilan. Dengan
beberapa postulasi yang dipaparkan serta ditarik benang simpulnya, mau tidak
mau, sastra harus menerima keberagaman dan menyuarakan keberpihakan.
Freud,
Marx dan Lacan
Tesis Freud menginspirasikan sebuah teori yang dalam banyak
hal memiliki karakteristik modern. Freud percaya bahwa ada sifat dasar manusia
yang esensial dan fundamental. Dia mengacu pada sebuah pandangan deterministik,
ilmiah dan positivistik, dan dalam berbagai kesempatan dia memodifikasi pandangan
totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak, represi sosial atas kebutuhan
dan keinginan manusia (needs and desires),
serta tentang kebutuhan manusia dalam memecahkan masalah mereka dengan cara
membicarakan masalah-masalahnya kepada pendengar [Freud: psikiater] dan
memberikan ruang bagi kebutuhan-kebutuhan alam bawah sadar mereka yang terrepresi
dan tertimbun untuk diungkapkan, juga keinginan dan pengalaman mereka yang
terpendam. Sebaliknya, kaum postmodernis menentang totalisasi struktural ala Freud
seperti itu sebagai sesuatu yang represif dan berkarakteristik “teror”.
Interogasi dan naturalisasi [misalnya dalam naturalisasi atau pemutihan gender
bagi kaum lesbian dan homoseksual] adalah bentuk teror ala totalisasi seperti
itu (Penney, 2014).
Penney (2014) di lain sisi menyatakan bahwa Freud telah
menyumbangkan kerangka berpikir yang keliru tentang heteronormatifitas. Ia
meluruskan dan mengoreksi petuah Freud tentang heteronormatifitas paternalistik
dalam setiap diskusinya dan yang telah banyak disalahartikan. Namun demikian
teori-teori Freud memainkan peran cukup penting dalam perkembangan
post-strukturalisme dan postmodernisme. Di antara gagasan Freud yang cukup
relevan bagi kaum postmodernis adalah pandangannya bahwa masyarakat era modern telah
gagal mewujudkan sumpahnya, gagal dalam menawarkan representasi kenyataan secara
sepihak. Sesuatu yang marginal dan terrepresi seperti mimpi “dream” dan silap lidah “slip of the tongue” adalah fenomena yang
amat penting dan bahwa dalam suatu proses untuk sampai pada sebuah tahap interpretasi
akan mimpi dan silap lidah dengan cara “yang
benar”, menurut Freud, hanya membawa pada penafsiran-penafsiran lain. Di
sinilah letak kemodernan teori Freud meskipun teori itu sudah sangat lama
dibongkar dan dimodifikasi oleh banyak kritikus di dunia. Freud sangat terbuka
akan irisan tesisnya dengan disiplin lain.
Untuk sampai pada kesimpulannya tentang penyakit Oedipus
Hamlet dalam drama terkenal Shakespeare Hamlet:
The Prince of Denmark, sebagai contoh sederhana, Freud menarik diskursus marjinal dari teks drama Shakespeare
tersebut. Ia tidak serta merta memperlakukan teks drama tersebut sebagai sebuah
institusi pasif bermuatan pesan moral. Namun Freud membuka diri untuk berdialog
dengan teks-teks lain di luar drama Shakespeare. Ia melakukan eksplikasi
eksternal karya sastra (external
explication) dan juga pembacaan dekat terhadap karya yang dihadapi (close reading) untuk memaknai teks
Hamlet. Cara yang ia pergunakan adalah menolak anggapan dengan mengedepankan
apa yang sudah ia kuasai sebagai suatu “anggitan”/”constructedness”, karena
Freud adalah pembaca tercangkok (meminjam istilah Derrida). Sampai pada
kesimpulannya, Freud memutuskan untuk menandai gejala Hamlet sebagaimana yang
ia tandai dari teks senafas Hamlet yaitu “Oedipus Rex” karya Sophocles. Diskursus
marjinal yang ditarik Freud dibingkainya dengan pengetahuan strukturalnya
tentang kejiwaan dan mekanisme pertahanan diri ego tokoh. Ia membaca bahwa
Hamlet menunjukkan gejala-gejala yang sejalan dengan apa yang dialami Oedipus dalam
drama Sophocles.
Tanpa sengaja, Freud telah mempraktikkan apa yang telah
dilakukan kritikus pascastrukturalis seperti halnya seorang Derrida. Menarik diskursus
marjinal dalam teks adalah salah satu langkah metodis dekonstruksi ala Derrida.
Di sini pula yang menunjukkan kemahiran dan kemodernan seorang Freud pada masa
itu yang banyak disalahartikan kritikus-kritikus sesudahnya.
Sementara itu menurut pandangan Marxism, karena suprastruktur
ditentukan oleh nilai dasar, maka bisa dipastikan ia menopang ideologi-ideologi
nilai dasar tersebut. Ideologi-ideologi adalah beberapa ide, gagasan dan
kecenderungan yang merubah dan didapat individu melalui kehidupan sosial. Ia
menampilkan nilai-nilai dan gagasan dominan sebagai sistem kepercayaan
masyarakat secara keseluruhan, dan juga mencegah individu memandang bagaimana
sebenarnya fungsi masyarakat. Karya sastra, sebagai produk budaya, adalah suatu
bentuk ideologi, yang memperkuat kekuasaan kelas atas. Sebagai contoh, pada
abad ke-18, karya sastra telah digunakan oleh sekelompok golongan berbahasa
Inggris kelas atas untuk menunjukkan dan memperlihatkan sistem nilai dominan
kepada golongan yang lebih rendah.
Ada banyak perbedaan pendapat antar kritikus sastra Marxist
berkaitan dengan hubungan antara ideologi dan sastra. Teoritikus dan realis
sosial Soviet/Rusia Georg Lukacs dan Louis Althusser secara berangsur-angsur
telah memodifikasi atau memperluas konsep awal Marx. Mereka percaya bahwa ideologi sebagai bagian suprastruktural
(bangunan struktural), harus sesuai dan berlandaskan pada nilai dasar ekonomi
masyarakat. Menurut mereka, sastra haruslah secara jelas mencerminkan nilai
dasar ekonomi sebab ia tidak akan berfungsi ketika bernaung di luar nilai dasar
yang sudah jelas atau model suprastruktural (Althusser, 2004).
Sebagaimana para realis sosial lainnya, kritikus Georg Lukacs
pun merasakan bahwa hanya format fiksi realistis saja yang secara artistik dan
politis lebih sah dan valid dalam membaca ketidakadilan. Tetapi Lukacs dan para
realis sosial memiliki perspektif yang terbatas. Mereka tidak sadar telah menyimpang
keluar dengan karya mereka termasuk pembacaan literal tentang sistem nilai dan
bentuk suprastruktural tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan Marx dan Engels yang
menggunakan pendekatan deterministik pada karya sastra. Di dalam karya mereka, sastra
bukanlah melulu suatu cerminan pasif dari dasar-dasar ekonomi. Meskipun mereka
mengakui sastra tidak bisa merubah sistem dan masyarakat dengan sendirinya, namun
mereka masih menganggap bahwa sastra dapat menjadi unsur aktif dalam perubahan
atau dapat berperan sebagai agen perubahan (the
agent of change).
Walaupun para kritikus aliran Marxis telah menafsirkan teori
Marx dengan berbagai cara berbeda, namun sebagai Marxis mereka toh akhirnya
tetap berpedoman kembali pada beberapa konsep sentral Marx, yaitu gagasan
tentang keadaan sosial mempengaruhi kesadaran, dan sistem dasar atau bentuk
suprastruktur. Kritikus Inggris Raymond Williams, misalnya, mempraktikkan
beberapa terma ala Marxis sebagai budaya peninggalan dan budaya yang dapat berkembang
untuk mengubah sistem dasar atau bentuk suprastruktur, bukan menginterogasi dan
membongkarnya. Kritik sastra Marxis lebih condong pada tekanan-tekanan dan
kontradiksi di dalam karya sastra, seperti yang banyak dipraktikkan oleh
kritikus pascastrukturalis-pascakolonialisme (Budianta, 2002). Sementara itu
sastra sebagai entitas yang memiliki kekuatan dan kelebihan tersendiri,
menawarkan perlawanannya sendiri dan merepresentasikan sebuah kekuatan wacana
yang mampu membedah dan membenahi dirinya sendiri. Hal inilah yang dilihat oleh
kritikus Kritik Baru yang dinafikan oleh kritikus pascastrukturalis. Oleh
karena itu, kertas kerja ini mengingatkan kembali bahwa pemikiran sederhana
Freud, sebenarnya, menawarkan praktik kerja kritik sastra yang lebih luwes dan
cair, namun dimentahkan begitu saja dengan pandangan-pandangan curiga dari
pemikir pascastrukturalis.
Hal tersebut di atas sejalan dengan kaidah Marxisme karena
Marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan, kontradiksi
dan pertentangan di dalam masyarakat. Kritik sastra Marxis juga memandang bahwa
sastra sangat dekat dan terhubung langsung dengan kekuatan sosial dan analisa
mereka atas karya sastra juga berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sosial yang
besar. Sejak Marxisme dianggap sebagai sistem kepercayan atau ideologi yang
dapat digunakan untuk menganalisa susunan masyarakat pada tingkat level paling
besar dan terperinci, kritik sastra aliran Marxisme hakekatnya adalah bagian
dari perjuangan dan usaha besar untuk membongkar praktik ketidakadilan dalam
masyarakat yang terjadi secara tidak sadar.
Dengan pembacaan yang menyeluruh dan sedikit provoaktif,
Penney (2014) mengajak para kritikus dan peneliti sastra dan budaya untuk
kembali mengkaji pemikiran-pemikiran kritis Lacan, Freud, dan Marx untuk
membantu memahami hubungan antara psikoanalisis, politik dan kapitalisme karena
ketiganya memang saling berpegangan dan saling menunjang satu sama lain
khususnya dalam diskusi mengenai ego dan kritik mengenai nilai surplus dari
pemanfaatan kritik diskursif, serta bentuk-bentuk kapitalisme yang dipengaruhi
oleh kesenangan sesaat ego. Bukankah praktik budaya kita merupakan wujud dari
mekanisme pertahanan diri ego?
Ada satu permasalahan yang dibongkar Penney (2014) tentang
diskursus Lacan mengenai desire.
Lacan, menurut Penney (2014) telah keliru memberi label hasrat ini dengan, ”...mampu menghidupi dirinya sendiri dengan cara
mensabotase pemenuhan-pemenuhannya sendiri” di mana akhirnya hasrat
mendapatkan stempel negatif dalam setiap diskursus Lacan. Hal ini, lanjut
Penney, dikarenakan pada hakekatnya hasrat itu tidak bisa “dinormalisasi” (dengan sinyifikasi apapun). Selanjutnya konsep yang
membingungkan dari diskursus hasrat ini disalahartikan oleh Lacan dengan
mencitrakannya sebagai dorongan yang membebaskan diri dari represi karena
ujung-ujungnya hasrat dekat dengan kematian “death”, yang mana menurut Penney hasrat merupakan sebuah “eternalisation” dan juga “the excess of life”. Secara radikal dan
provokatif Penney (2014), penggagas teori pasca-queer, menyatakan bahwa,”... we must choose not between life and death [maksudnya
insting hidup dan mati], but rather between
life and immortality”. Di sini jelas bahwa hasrat itu sebenarnya adalah
libido yang besar untuk mempertahankan diri dan berusaha memposisikan ketetapan
kedudukan dari gempuran dan serangan libido negatif di luar individu.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa diskursus hasrat Lacan
telah disalahpersepsikan sebagai gerakan alam bawah sadar yang negatif, padahal
kenyataannya tidak demikian menurut pandangan pascastrukturalis Penney. Hasrat
adalah gairah kelangsungan hidup dan merupakan mekanisme pertahanan diri ego
dari gempuran ketidakpastian dan penderitaan. Hasratlah yang mengantarkan
manusia untuk bertahan dan menjalankan kehidupan dengan segala kelebihan dan
kekurangan. Hasrat pula yang mengantarkan individu untuk merangkak menempati
kedudukan dalam tiap tahap kehidupan.
Politik
dan Kapitalisme dalam Sastra
Antonio Gramsci dengan konsep hegemoninya, melakukan
pembacaan yang fleksibel pada model sistem dasar dan suprastruktur. Gramsci
percaya bahwa ideologi tidak dapat menjelaskan tingkatan manusia di dalam
menerima nilai-nilai dominan. Dia juga menyadari, sebagaimana kritikus Marxis
lainnya, bahwa model sistem dasar dan suprastruktur sangatlah kaku untuk dapat
merangkul dan menjelaskan produk-produk budaya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai
dominan (arus utama/mainstream).
Selanjutnya gagasan hegemoni Gramsci dianggap sebagai suatu kelanjutan langkah
atau “konsep terselubung” di balik ideologi. Hegemoni adalah sejenis “penipuan”
di mana individu melupakan keinginannya sendiri dan menerima nilai-nilai
dominan sebagai pikiran mereka, menerimanya, melanggengkannya, dan meneruskannya
pada generasi berikutnya. Hegemoni menjadi semacam lingkaran setan tanpa putus
dan didalamnya ada penerimaan dan pentahbisan. Praktik hegemoni ini menjadi
bagian dari ketidaksadaran individu dan mendarahdaging seperti praktik
kepercayaan dan mitos. Doktrin dan dogma adalah bentuk dari praktik hegemoni
itu secara tanpa sadar.
Teoritikus Louis Althusser mempertimbangkan hubungan antara
sastra dan ideologi. Baginya, hal ini juga meliputi pemahaman tentang hegemoni.
Althusser menyatakan bahwa ideologi dan hegemoni—seperti halnya sastra—memperlihatkan
suatu versi penciptaan ulang realitas, di mana sastra sebenarnya tidak
merefleksikan kondisi aktual kehidupan. Dengan demikian, sastra di samping
tidak hanya menggambarkan ideologi, juga dapat direduksi menjadi bagian dari
ideologi. Karya sastra mungkin dapat diposisikan sejajar di dalam ideologi,
tetapi juga terdapat jarak di antara keduanya. Hal tersebut dilakukan dengan
membiarkan pembaca untuk memperoleh suatu kesadaran ideologis di mana ia
disandarkan pada suatu nilai atau kaidah tertentu di dalam karya sastra yang
dibacanya. Sebagai contoh, sebuah novel boleh menampilkan dunia dengan segala
cara untuk mendukung ideologi- ideologi dominan. Dan sebagai karya fiksi, ia
juga harus menampilkan ideologi tersebut. Jadi, sekali lagi, meskipun sastra
tidak dapat merubah masyarakat, ia dapat menjadi agen suatu perubahan. Ini
disebabkan karena ideologi itu sendiri hidup dan,”... ia lahir dari sebuah hubungan kekuasaan sebagai salah satu reaksi dari
pihak-pihak tertindas untuk membebaskan diri” (Althusser, 2004).
Karya
sastra adalah buah pemikiran dan imajinasi. Ia ditimbulkan dari realitas
imajiner pengarang. Dunia di dalam sastra adalah dunia yang terbayangkan dan
teridealisasikan. Idealisme dalam sastra tidak lain adalah idealisme imajiner.
Khayalan yang disepakati antara penulis dan pembaca menjadi cikal bakal
kebutuhan bacaan. Keterbacaan sastra sementara itu menjadi daya tarik luar
biasa yang sangat jarang dimiliki karya sastra populer. Hal ini disebabkan
karya sastra populer lebih banyak didominasi tema-tema budaya popular yang dekat
dengan kehidupan pembaca, mudah diikuti alur cerita, menarik, menghibur dan
menawarkan “mimpi” untuk lari dari permasalahan realita kehidupan.
Kenyataan tersebut di atas menjadi
magnit penarik para pemodal untuk ikut berperan dalam membidani lahirnya karya
sastra yang nantinya akan dinikmati masyarakat. Sastra berada dalam percaturan
peta: penulis, pemilik modal, redaksi/produser, penjual, dan konsumen (pembaca).
Eagleton berpandangan bahwa sastra tidak bisa lepas dari lingkaran pemodal
karena hidup matinya sastra dapat ditentukan oleh kehadiran dan kekuatan
pemilik modal. Sastra dan kapitalisme menjadi benang kusut dalam rangkaian
sejarah lahirnya karya sastra, entah itu karya sastra yang bagus atau tidak
bagus. Oleh karena itu peran sastra sebagai agen perubahan bisa juga ditentukan
oleh pemodal yang notabene juga bisa memainkan dan memutar keinginan publik.
Sastra sebagai agen perubahan juga bisa dibelokkan ideologinya sesuai dengan
konsep yang digagas oleh kapitalis.
Beberapa karya sastra yang muncul
akhir-akhir ini yang semuanya didominasi oleh karya sastra dengan label young adult literature (YAL) menarik
untuk disimak. Sastra genre ini merupakan karya sastra yang banyak diminati
oleh produsen dan juga pembaca, khususnya di negara-negara maju seperti
Amerika, Australia, German, Perancis, Singapura, Malaysia, China, dan lain-lain
karena sifatnya yang ringan, empatik dan didaktis. Karya sastra jenis ini
mengetengahkan isu-isu ketidakadilan dan semangat mempertahankan akar budaya
serta jati diri dalam tirani penindasan seorang pemimpin diktator. Beberapa
contoh karya dari genre ini adalah Catching
Fire: Hunger Games, Divergent, The Giver, The Maze Runner dan
beberapa karya lainnya. Ada apa di balik karya-karya itu? Dan mengapa
karya-karya itu begitu terkenal dan dikagumi serta mencapai angka penerbitan
yang luar biasa. Menariknya lagi, karya-karya tersebut disulap menjadi film
dengan genre fantasi yang menarik dan mendatangkan keuntungan material yang
lumayan besar bagi produser (pemilik modal), penerbit (pengiklan), dan penulis
(pemilik idealisme).
Hal tersebut di atas, tidak lain,
adalah relasi kuasa antar kebutuhan dalam kapitalisme. Dan mengapa karya-karya
seperti itu yang dijadikan rujukan dan trend genre dalam produksi novel dan
film dewasa ini? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena adanya
ideologi yang menentang totalitarianisme. Keseluruhan tema cerita dari
novel-novel genre itu adalah adanya ketimpangan praktik dominasi yang dilakukan
oleh beberapa gelintir oknum dalam cerita, yang ingin menindas dan menghegemoni
dengan melakukan berbagai cara dan praktik penipuan publik, yang bertujuan
untuk menegakkan dominasi dan melanggengkan kekuasaan.
Seorang
tokoh, dari beberapa judul yang pernah terbaca sebelumnya, dikaruniai kekuatan
imajinasi dan kelebihan futuristik lahir di tengah-tengah masyarakat yang
tertindas. Ia, entah dari gender maskulin atau feminin, dengan segala kelebihan
dan kekurangannya, melihat dan mencoba membongkar praktik penindasan itu dengan
cara menyadarkan keluarga, orang-orang terdekatnya dan bahkan kekasihnya, untuk
memberontak dan melawan tirani pemimpin diktator. Dengan tokoh berusia muda dan
dibekali penampilan fisik yang mengagumkan, tokoh superhero ini akhirnya
menjadi scapegoat yang menentang
praktik ketidakadilan. Ia menjadi musuh masyarakat, sekaligus musuh politik kekuasaan
yang berlaku. Kemudian tokoh ini mencoba untuk keluar dari lingkungannya dan
meninggalkan semua yang ada di belakangnya karena keyakinannya. Ia menjadi survivor dan berhasil membongkar praktik
dominasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemimpin totaliter. Nampaknya,
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang cerita sangatlah ringan dan gampang
dimengerti. Namun jika ditelisik lebih jauh, teks-teks ini menawarkan
pembongkaran ideologi yang mendalam serta ingin menyadarkan bahaya
totalitarianisme dalam masyarakat. Apakah pengarangnya ingin mengkritik sebuah
praktik politik tertentu? Adakah peran kapitalisme dalam upaya melawan
kediktatoran atau totalitarianisme? Adakah campur tangan negara tertentu yang
menginginkan karya-karya yang diproduksi bersifat ideologis? Jawabannya justru
bergantung pada sejauh mana pemaknaan ideologis yang dimiliki oleh pembaca.
Pembacalah yang menjadi agen transfer of
knowledge dari agen perubahan yang digagas oleh sastrawan. Sifat ideologis
karya sastra di sini bukan ditentukan oleh kedalaman karya sastra yang
diproduksi, tetapi dilihat dari sudut pandang pembaca yang sudah dilingkupi
oleh ideologi tertentu.
Pembacaan
saya terhadap karya-karya YAL mengerucut jurstru setelah karya-karya tersebut
disulap Hollywood menjadi tontonan grafis bergerak. Mengapa Hollywood? Jawabanya
tidak lain karena Hollywood menjadi pemilik modal dan penguasa ideologi.
Film-film itu menjadi jalan mulus bagi ideologi Amerika (secara umum) untuk
menentang praktik totalitarianisme, yang sekarang menjadi kiblat bagi
perkembangan kemajuan dan peradaban berbudaya seperti yang diprakarsai oleh
Rusia dan China, yang notabene beraliran komunis sosialis. Namun bisa dilihat bahwa
praktik totalitarianisme di Rusia dan China menjadi contoh dari “aturan”, “normalisasi”,
“pemutihan” dan “penundukan” tanpa perlawanan. Inilah yang ingin dikritik dan
dibongkar oleh paham ideologi ala “Hollywood” .
Bandingkanlah karya-karya YAL di atas dengan karya klasik
Arthur Miller, “Death of Salesman” (dalam Barnet, Berman dan Burto, 1989).
Drama ini sangat dekat dengan kehidupan dan realita sehari-hari: pekerjaan yang
menggunung, tagihan dan hutang, keluarga, istri, anak-anak yang merengek-rengek
minta hadiah dan tamasya, serta yang paling sering disorot, perselingkuhan dan
seksualitas. Willy, seorang salesman tidak
sukses yang mengalami nasib ironis tragis (kurang lebih demikian gambaran tokoh
ironis tragis mengikuti tradisi Shakespeare, karena Miller adalah seorang
pengagum Shakespeare), memiliki impian luar biasa sebagaimana ayah pada
umumnya, ingin keluarganya utuh, pekerjaan sukses, istri yang baik dan
anak-anak yang menyejukkan mata. Tapi semua itu hanya dalam mimpi Willy. Ia
bukanlah seorang negosiator yang baik karena kegagalan-kegagalan sebagai
seorang tenaga penjual tidak pernah membawa untung bagi tempat usahanya; ia
tidak pernah bisa memenuhi keinginan anak dan istrinya karena ia merasa selalu
dilecehkan keluarganya karena harapannya terlalu tinggi dan selalu memberi
harapan palsu tetapi tidak pernah bisa menggapainya; ia tidak pernah bisa
mencintai istrinya karena ia berselingkuh dengan wanita lain karena tidak
pernah mendapatkan kedamaian dengan istrinya; ia tidak pernah bisa membelikan
hadiah terindah buat istrinya, namun ia berusaha mati-matian membelikan stocking untuk selingkuhannya hanya
supaya selingkuhannya terlihat seksi dan dapat membangkitkan syahwat binalnya.
Ia tidak punya apa-apa kecuali harapannya untuk mendapatkan klaim asuransi yang
ia bayarkan setiap bulannya dengan susah payah. Klaim itu sendiri tidak bisa
dicairkan sebelum ada musibah yang besar yang menimpanya, misanya kecelakaan
atau kematian.
Adakah ideologi kapitalisme di dalam
drama tersebut? Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana dan sikap pengarang
serta pembaca ketika membaca realita drama tersebut. Beberapa karya tulis dan
disertasi menyangkutpautkan drama ini dengan unsur kapitalisme dalam budaya
masyarakat modern, serta pengaruh ekonomi dan budaya kepitalisme yang
menyebakan jatuh tragisnya tokoh Willy. Namun jika ditelisik lebih jauh,
beberapa hasil analisis tulisan-tulisan tersebut sangat jauh dari
harapan-harapan ideologis sebuah karya sastra ideologis. Drama itu memang
syarat pesan dan titipan dari kapitalisme di waktu drama itu dibuat. Namun,
drama tersebut bukanlah hasil dari selingkuh kapitalis dengan pengarang dan
produsen. Drama Miller merupakan buah dari peradaban sastra tingkat tinggi yang
tidak dipengaruhi oleh keinginan pemilik modal. Meskipun akhir cerita
mengemukakan bahwa kematian Willy sebagai upaya banding dia dalam mendapatkan
klaim asuransi demi membahagiakan anak dan istrinya yang bisa dimaknai sebagai
pesan pemilik modal penggagas isu berasuransi jiwa, namun pesan ideologis drama
ini sebenarnya ada pada semangat perjuangan dan eksistensi seorang manusia
dalam menapaki kehidupan di atas bumi gersang bernama peradaban kapitalisme.
Sastra yang ideologis seperti “Death of Salesman” bukan berarti dipenuhi muatan
pesan-pesan ideologis seperti politik, apalagi kapitalisme. Sastra yang
ideologis sebenarnya, kemungkinan terbesar, sangat dekat dengan kehidupan
karena kehidupan itu sendiri syarat muatan ideologis.
Identitas,
Keberagaman, dan Keberpihakan
Diskursus
tentang identitas dan keberagaman (identity
and diversity) dalam karya sastra telah berkembang sejak kajian
pascakolonialisme berkembang dengan pesat di dunia. Kajian pascakolonial pada
mulanya melihat pentingnya pengaruh identitas dalam wacana pra-kolonial,
kolonial, dan pascakolonial. Pengaruh-pengaruh ideologis dari negara penjajah
terhadap bekas jajahannya menjadi mengerucut kepada diskursus ras, kelas,
etnisitas dan identitas. Diskursus pascakolonialitas melihat hubungan antara
tuan-majikan, putih-hitam dan kuat-lemah, tinggi-rendah, atasan-bawahan,
majikan-budak dan beberapa bentuk dan pola oposisi biner dalam lingkaran
diskusi timur dan barat dalam suatu pandangan ideologi tertentu.
Para
kritikus pascakolonialisme sekarang (misalnya yang mengikuti arus pemikiran
Edward Said dan Hommi K. Bhaba) lebih melihat pertentangan dalam bingkai ini
pada ketimpangan kekuasaan dan ideologi daripada hubungan secara tidak langsung
antara timur dan barat. Sejak adanya postulasi pascastrukturalis (yang banyak
dipengaruhi pemikiran Derrida dan Foucault) yang memandang ketidakadaannya
perbedaan, warna kulit, status, ras, kelas dan etnisitas, serta identitas
(bahkan barat dan timur), maka diskursus pascakolonialisme lebih mengemukakan
pembongkaran ideologi dan praktek ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan
tatanan dalam budaya dan masyarakat. Dengan demikian praktek pascakolonialisme
lebih tertantang luas dan tidak hanya terkotak pada salah satu belahan biner
“dunia” saja. Beberapa pemikir diskursus pascakolonialisme melihat bahwa
ketidakadilan dalam peradaban bukan hanya merupakan peninggalan barat yang
mendominasi timur dan relasi keduanya dalam pertautan makna dan bahasa. Namun
lebih merupakan buah dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan hak-hak asasi
manusia dalam praktek hegemoni penandaan dan praktik ideologi bahasa. Ini
disebabkan karena peradaban manusia sudah tidak perlu lagi mempergunakan
kekerasan dalam bentuk fisik dan persenjataan (karena dianggap sebagai bentuk
kekerasan dan dominasi fundamental barbar) tetapi kekuatan “kata-kata” dan
“bahasa diplomasi” yang dianggap lebih ampuh untuk menghegemoni.
Sejalan
dengan pemikiran tersebut di atas, persenjataan utama sastra sebenarnya
terletak pada kekuatan penanda-penanda ideologisnya. Praktek ideologi bahasa
dalam bentuk penanda dan petanda, menjadi rujukan utama dalam setiap diskursus
dan pengejawantahan idealisme. Karena sastra bukan hanya cermin realita, maka
ia adalah ideologi itu sendiri, dan ia juga hidup itu sendiri. Sementara itu
ideologi merupakan realita, karena ia melembagakan sesuatu yang riil dalam
masyarakat (Thompson, 1984). Ideologi bukanlah bayangan dari dunia sosial,
namun ia adalah bagian dari dunia itu sendiri, serta merupakan elemen yang
kreatif dan konstitutif dalam kehidupan sosial.
Identitas
pada hakekatnya melekat pada individu dan kelompok. Ia merupakan wujud
penandaan yang konkret serta berpegang erat pada ideologi. Setiap identitas ada
melekat bersamanya sebuah ideologi yang hidup. Karena ideologi dipercaya dan
dipraktikkan sebagai bentuk pemikiran dan tindakan. Oleh karena itu, identitas
tidak bisa lepas dari kesadaran individu untuk menerima dan mengamini ideologi
yang dipercayanya. Identitas melekat kuat sejalan dengan ideologi dan karenanya
susah untuk dihilangkan. Ia menjadi petanda dan sekaligus penanda dalam
diskursus kehidupan sosial.
Karya
sastra yang dipenuhi dengan muatan ideologi tidak lain adalah karya sastra yang
memiliki jiwa dan kehidupan itu. Karya tersebut kreatif dan menghidupi dirinya,
meminjam istilah Kritik Baru, mampu merubah, mengurangi atau memperkuat relasi
dengan yang lain dan dunia itu sendiri (Thompson, 1984). Pemikiran ini sejalan
dengan gagasan para pemikir pascastrukturalis bahwasannya cara kerja mereka
lebih mengutamakan pemaknaan dari dalam teks serta mencari ketidakseimbangan
teks itu sendiri, bukan mencari pembenaran yang menyelamatkan teks. Pemikiran pascastrukturalis,
meskipun dalam praktiknya mereka lebih banyak melakukan pembongkaran terhadap
teks-teks besar dan dikanonkan, lebih mengedepankan hubungan-hubungan yang
tidak simetris di dalam teks (Barry, 1995).
Hubungan-hubungan
ini saya maknai sebagai “pencarian perbedaan”/”the search for difference” di dalam teks. Dengan memaknai dan
mencari perbedaan ini, berarti bahwa sesuatu yang membedakan satu hal dengan
lainnya menjadi penting. Kritik sastra pascastrukturalis, oleh karena itu,
lebih mengedepankan perbedaan dan mengangkat kemarjinalan alias keliyanan,
serta menariknya keluar dari dalam teks dan memperlakukannya sebagai buah
analisis yang sangat berharga. Ini yang disebut dengan penolakan terhadap
esensialisme (sejalan dengan pemikiran para pascastrukturalis), yang
memungkinkan adanya pembentukan identitas yang kuat dan jati diri yang jelas.
Sastra feminis dan pascakolonial, sebagai contoh, tidak menginginkan bentuk
pengejawantahan esensialisme seperti itu. Derrida juga sudah pasti memiliki
semangat yang sama, yaitu menolak esensialisme, dalam memperlakukan teks-teks
ideologis seperti halnya karya sastra kanon.
Kritik
sastra ideologis, sama halnya dengan sastra ideologis itu sendiri, seharusnya
melakukan tindakan semacam ini. Ia tidak berusaha menjauhi perbedaan yang telah
direpresi dari wacana arus utama dan juga tidak menolak beraliansi dengan
kelompok-kelompok tertentu untuk membangun ideologi dan gagasan besar, namun
bersinergi dengan ketimpangan dan mengangkat kemarjinalan serta bertarung melawan
ketidakadilan dan praktik dominasi relasi kuasa timpang. Itulah kurang lebih
semangat yang harus digagas penulis sastra ideologis dalam konteks budaya dan
sosial masa kini. Untuk bertahan dan menghidupi dirnya sendiri serta melaju
dengan kecepatan yang aman, sastra ideologis harus membela kemarjinalan,
menerima keberagaman, dan menyuarakan keberpihakan.
Daftar Rujukan:
Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisa, Cultural Studies,
diterjemahkan oleh Olsy Vinoli Arnof dari buku Esays on Ideology, London: Verso, 1984
Barry, Peter. 1995. Beginning
Theory, an Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester:
Manchester University Press.
Budianta, Melani. 2002. “Teori Sastra Sesudah
Strukturalisme: Dari Studi Teks ke Studi Wacana Budaya”, PPKB-LPUI: Pelatihan
Teori dan Kritik Sastra, PPPG Bahasa 22-30 Mei 2002
Miller, Arthur. 1989. “Death of Salesman” karya drama
dalam Barnet, Berman, Burto Introduction
to Literature: Prose, Poetry and Drama 10th Edition, New York: Harcourt
Brace Jovanovich Inc.
Penney, James.2014. After
Queer Theory: The Limits of Sexual Politics. London: Pluto Press
Thompson, John. B. 1984. Studies in the Theory of Ideology. California: University of
California Press.